Kisah ini berlatar kelompok Wayang Wong, yang sedang diambang persimpangan jalan. Sebagai kelompok seni tradisional, mereka sudah mulai ditinggalkan penonton. Semar, Bagong, Petruk, Gareng, kini lebih banyak nganggur dan mencari kegiatan di luar tobong. Bahkan karena tekanan ekonomi, para pemain wayang orang itu kerap ngamen di perempatan jalan dengan pakaian Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dan bertemu dengan kelompok badut yang juga mengamen di lampu merah.
Kenyataannya kelompok badut yang mengamen itu lebih banyak disukai, dan lebih menghasilkan banyak uang. Dan itu juga menjadi kegelisahan Putra Pemilik Wayang Orang itu. Jaman sudah berubah, setiap generasi mesti mencari jalannya sendiri.
Maka Putra Sang Maestro. tak mau mengikuti jejak dan warisan ayahnya. Ia pingin menemukan jalan hidupnya sendiri, mejadi seniman badut. Setiap profesi yang dijalani dengan penuh cinta dan dedikasi, pasti adalah profesi yang mulia dan terhormat. Ia yakin, profesi badut pun seperti itu. Memang, selama ini ada anggapan miring soal badut. Dianggap hanya seni murahan. Hanya pengibur. Sering dipandang rendah dalam dunia kesenian dan kebudyaaan.
Putra Sang Maestro ingin membuktikan, bahwa semua anggapan itu keliru. Ia yakin badut adlah profesi yang juga terhormat. Dan ia bisa menjadi seorang badut yang juga terhormat. Ia tak ingin dipandang rendah hanya karena memilih jadi badut.